Anda pasti mengenal lukisan legendaris ini. Sepasang gunung dengan matahari di tengahnya, lengkap dengan sawah dan jalan berkelok yang terhampar di bawahnya. Kenapa ya, hampir seluruh anak Indonesia menggambar objek ini bahkan dari sudut pandang yang serupa?
Lupakan alasan bahwa pemandangan alam tersebut memang nyata di Indonesia. Faktanya, tidak semua anak tinggal di bawah gunung atau dekat dengan persawahan. Alasan ini tidak valid apalagi untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan kota besar. Kenapa mereka tidak menggambar gedung, jalan raya, perumahan, atau lampu jalan? Padahal secara emosional, hal itulah yang sering mereka lihat sehari-hari karena sulit untuk menemukan sawah di kawasan perkotaan.
Ada ratusan kemungkinan dari gambar dan imajinasi yang dihasilkan oleh anak setelah diberikan instruksi untuk menggambar pemandangan. Tetapi gambar tersebut masih lumrah kita lihat, terutama saat pelajaran kesenian di Sekolah Dasar atau Taman Kanak-Kanak. Ternyata, ada hal menarik yang dapat kita pelajari dari fenomena gambar dua gunung ini.
Seni yang Tidak Sempurna Adalah Salah
Di Indonesia, nilai begitu didewakan. Seni yang seharusnya tidak bisa dinilai dengan angka, justru menjadi salah satu sumber nilai yang nantinya menentukan apakah anak akan naik kelas atau tidak. Tak hanya di sekolah, orang tua pun terkadang turut ambil peran dalam menambah beban mental agar anak selalu mendapat nilai yang sempurna. Akibatnya, anak mendapat tekanan dan selalu berusaha untuk mendapatkan hasil yang “sempurna”.
Sangat ironis bahwa anak selalu dituntut untuk menjadi sempurna, tetapi tidak pernah dibimbing untuk belajar dari kesalahan. Anak menjadi takut untuk mengeluarkan ide karena takut akan terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan, yang dalam kasus ini yaitu takut mendapat nilai jelek. Takut berbuat salah membuat anak tidak dapat berpikir kreatif bahwa sebenarnya terdapat jalan keluar alternatif lain yang bisa ia lakukan, di samping menjadi serupa dengan murid lain.
Tetapi, menjadi berbeda bukan lah jaminan seorang anak bisa mendapat nilai sempurna. Ada rasa malu yang justru didapat apabila hasil yang diperoleh berbeda dengan anak lainnya. Di sisi lain, guru juga tidak membebaskan objek yang harus kita gambar. Anak sudah dididik sedemikian rupa hingga akhirnya terbiasa untuk menerima keadaan ini, bahwa guru yang memberi nilai, maka guru selalu benar. Tanpa disadari, sistem pendidikan yang seperti ini telah mematikan kreativitas anak-anak.
Apa Definisi Sempurna Dalam Seni?
Setiap orang lahir dengan kreativitas dan keunikannya masing-masing. Namun, pendidikan kita sering melupakan hal tersebut. Terdapat standar yang harus dicapai agar bisa mendapat titel “sempurna” di mata masyarakat. Menilai bagus atau tidaknya suatu karya, apalagi kepada anak-anak yang belum banyak menerima pengetahuan, justru akan menghambat kreativitas dan perkembangan otak kanan mereka.
Seharusnya konsep sempurna dijadikan sebagai titik tujuan agar kita dapat berkembang menjadi lebih baik. Sempurna bukan lah suatu standar serupa yang harus diikuti oleh semua orang, seperti mendikte mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi menjadi sempurna adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berhenti untuk berkembang.
Semua orang tidak mungkin tiba-tiba menjadi bisa dan melahirkan karya yang “sempurna”. Diperlukan usaha yang membutuhkan kerja keras, latihan, dan tentunya belajar dari kesalahan. Hal ini dilakukan agar bisa berkembang dan berinovasi untuk menghasilkan karya baru yang lebih baik dari karya sebelumnya.
Jadi, nilai anak anda di bidang seni kemungkinan besar tidak berkaitan dengan kreativitasnya. Banyak faktor yang mempengaruhi di luar nilai, seperti cara belajar dan berpikir masing-masing anak yang unik, dan perlu dikembangkan sesuai dengan karakter mereka. Sudah bisa bersyukur nilai anak anda tidak sempurna?