Benarkah Scrum Tidak Akan Berkembang di Indonesia?

Scrum merupakan sebuah konsep kerangka kerja yang sangat populer bagi perusahan-perusahan besar di luar negeri dan terbukti mereka sukses mengembangkan perusahaan mereka dengan Scrum. Namun Scrum dinilai tidak cocok dan tidak akan berkembang di Indonesia, bukan karena sumber daya manusia kita yang tidak mampu namun lebih ke mentalitas orang Indonesia yang membuat Scrum seolah akan sulit berkembang di Indonesia.

Berikut adalah tulisan dari seorang ahli Scrum bernama Joshua Partogi, beliau merupakan seorang Profesional Scrum Trainer pertama dari Asia yang diajarkan langsung oleh Co-Founder Scrum.org, sebuah organisasi internasional yang mengembangkan Scrum. Berdasarkan dari pengalamannya yang telah banyak mengajar di berbagai belahan dunia khususnya di Asia, ini adalah beberapa faktor yang membuat pandangan bahwa Scrum tidak akan berkembang di Indonesia, diantaranya:

Orang Indonesia Selalu Mencari Pendahulu Dari Pada Menjadi Pendahulu, Mencari Pembuktian Dari Pada Membuktikan Sendiri
Ini adalah permasalahan utama dari permasalahan-permasalahan lainnya yang diulas di artikel ini. Bila kita menelaah pertanyaan “Banyak tidak sih yang menggunakan Scrum di Indonesia?”, sudah terlihat dengan jelas kalau ada keraguan di balik pertanyaan tersebut. Kalau sudah banyak yang menggunakan Scrum memangnya kenapa? Kalaupun belum banyak memangnya kenapa? Apakah akan ada bedanya? Apakah kamu akan tetap mencoba menggunakan Scrum bila sudah banyak yang menggunakan Scrum? Kenapa harus menunggu orang lain? Scrum sendiri sudah beredar selama 18 tahun lebih, pembuktian apa lagi yang perlu dicari? Kalaupun yang banyak sukses menggunakan Scrum adalah organisasi-organisasi dari negara barat memang apa bedanya dengan Indonesia? Kenapa tidak memulai dan menjadi pionir di Indonesia?

Namun begitulah orang Indonesia, hanya berani mencoba jika sudah banyak pengguna lainnya yang sukses terlebih dahulu daripada menjadi early adopters dan thought leaders. Menunggu daripada menjadi pendahuluTerlalu lama ragu dan selalu mencari justifikasi daripada langsung memulai. Akhirnya dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari Indonesia masih sangat terbelakang karena selalu menunggu daripada melangkah maju mengambil resiko.

Kalaupun kita menjelaskan kepada mereka bahwa ada perusahaan X di Indonesia yang sudah lama menggunakan Scrum, mereka akan selalu membuat justifikasi bahwa perusahaan X ini memilikiadvantage yang mereka tidak miliki daripada melihat adanya possibility kalau Scrum dapat juga diterapkan di organisasi mereka lewat pengalaman perusahaan X tersebut.

Masalah ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang ini karena sebagian besar adalah kesalahan sistem pendidikan di Indonesia yang berorientasi kepada sesuatu yang pasti dan kurangnya penekanan ke pengambilan resiko pada sesuatu yang tidak pasti.

Orang Indonesia Lebih Peduli dengan Hasil, Bukan Proses
Di negara-negara maju pada umumnya, proses itu sangat penting karena selain proses menentukan hasil, juga karena biaya tenaga kerja yang sangat mahal. Bahkan proses dapat dihentikan hingga berhari-hari lamanya demi keluaran yang lebih baik di masa mendatang. Jadi di negara-negara industri maju untuk dapat mempercepat keluaran bukanlah dengan menambah tenaga kerja, namun dengan caratweaking process dan otomatisasi. Karena tenaga kerja software developer di Indonesia tergolong relatif murah dibandingkan dengan negara-negara industri maju, maka solusi untuk mempercepat keluaran adalah dengan menambah jumlah tenaga kerja atau menyuruh tenaga kerja tersebut untuk kerja lembur hingga larut malam bukan dengan tweaking process supaya orang-orang tidak perlu lembur lagi di kemudian hari.

Orang Indonesia selalu berpedoman pada “yang penting selesai” (walaupun perlu lembur), sedangkan di negara maju “bagaimana menyelesaikannya” merupakan sesuatu yang lebih penting supaya lembur tidak menjadi kebiasaan. Orang Indonesia beranggapan bahwa investasi pada proses adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi organisasi mereka sehingga mereka lebih berorientasi pada hasil. Karena alasan tersebut kita akan sangat jarang sekali melihat seorangprocess hacker di industri software development di Indonesia.

Masalah ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang ini, karena sistem pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai atau indeks prestasi saja. Padahal ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dikuantifikasi dengan angka seperti kreatifitas dan kolaborasi.

Orang Indonesia Bekerja Mengikuti Arus, Bukan Melawan Arus
Ketika seseorang membawa masuk proses Scrum ke dalam sebuah organisasi, orang-orang di dalamnya akan mengikuti arus. Namun ketika orang tersebut pergi maka Scrum juga akan ikut pergi bersama dengan pionir Scrum organisasi tersebut. Sehingga ketika ada pimpinan baru yang tidak mengenal Scrum, orang-orang lainnya akan mengikuti cara apapun yang dia kenalkan ke dalam organisasi daripada mengenalkan Scrum kepada pimpinan baru tersebut.

Di Indonesia, sangat memungkinkan mendapatkan orang baru masuk ke dalam organisasi merusak kultur Scrum yang sudah dibangun semenjak lama oleh orang-orang sebelum dia masuk. Di Indonesia, pengaruh buruk satu orang dapat melibas kebiasaan baik yang telah dibangun oleh sepuluh orang sekian lama. Orang Indonesia tidak suka menghadapi konflik dan cenderung mengikuti arus, walaupun arus tersebut tidak selalu bersifat positif. Tujuan utama orang Indonesia bekerja adalah uang bukan sesuatu yang ia percayai baik bagi lingkungan di sekitarnya. Walaupun ia tahu Scrum itu lebih baik dari proses tradisional, ia tidak akan mempertahankannya. Asalkan ia bisa mendapatkan banyak uang walaupun dengan melakukan hal yang ia tidak percayai, ia akan tetap melakukannya. Alasan ini yang membuat Scrum di Indonesia tidak akan pernah menjadi kultur organisasi yang persisten namun cuma sebuah jargon yang cuma numpang lewat dalam sebuah organisasi.

Orang Indonesia Takut Menghadapi Kegagalan dan Tidak Memiliki Budaya Continuous Learning
Ketika sebuah organisasi mendapatkan sebuah pelatihan mengenai Scrum, maka seluruh pihak di dalam organisasi akan menerapkan Scrum secara textbook apa adanya. Dan ketika mereka menemui masalah yang tidak pernah dijelaskan oleh pengajar pada saat pelatihan, mereka cenderung kembali ke kebudayaannya yang lama daripada membuka pikiran dan berkolaborasi dengan anggota tim lainnya untuk mencari jalan keluar dan improvement bersama-samaataupun mencari seorang Scrum coach berpengalaman yang dapat membimbing mereka lebih lanjut ataupun bergabung dengan pertemuan bulanan komunitas Scrum Indonesia.

Permasalahan ini berkaitan erat dengan masalah sebelumnya dimana orang Indonesia selalu menunggu daripada menjadi pendahulu, budaya untuk gagal masih dianggap tabu di Indonesia. Daripada gagal menjalankan Scrum sendiri, mereka mau melihat orang lain gagal terlebih dahulu. Tetapi kalaupun orang lain sukses dengan Scrum, hal tersebut tidak membuat ia langsung menggunakan Scrum juga.Continuous learning adalah sesuatu yang dianggap mahal di Indonesia. Kebanyakan orang di Indonesia cenderung berhenti belajar setelah masuk ke dunia kerja. Apalagi bila jabatan orang tersebut semakin tinggi. Di Indonesia, semangat belajar berbanding terbalik dengan tingkat jabatan seseorang.

Masalah ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang ini, sebagian besar adalah kesalahan dari metode pengajaran di Indonesia yang tidak menghargai sebuah kegagalan dan metode belajar yang terlalu bertumpu pada guru atau dosen daripada peserta belajar itu sendiri.

Orang Indonesia Lebih Suka Disuapi Dari Pada Berpikir Out-Of-The-Box
Di pertemuan bulanan komunitas Scrum Indonesia akan selalu ada satu orang (kadang bisa lebih) yang menanyakan hal yang sangat dasar mengenai Scrum, namun sebulan kemudian orang tersebut tidak akan datang lagi ke pertemuan bulanan komunitas Scrum Indonesia. Menanyakan hal dasar mengenai Scrum bukanlah permasalahan utamanya, namun tidak datang kembali di bulan berikutnya untuk selalu belajar dari pengguna Scrum lainnya di Indonesia adalah permasalahan utamanya.

Ketika ia mengetahui kalau Scrum begitu sederhana maka ia langsung berkesimpulan kalau Scrum tidak dapat diterapkan di organisasi dia yang dia anggap begitu kompleks. Padahal yang membuat proses di dalam organisasinya kompleks adalah dia sendiri. Scrum dibuat sangat sederhana agar organisasi dapat berkolaborasi dan kreatif dalam menyederhanakan proses pengembangan software. Scrum dibuat begitu sederhana agar organisasi dapat berpetualang mengeksplorasi apalagi yang mungkin dapat di-improve di dalam organisasi.

Namun mental yang lebih suka melihat segala sesuatu apa adanya dan mental lebih suka disuapi membuat Scrum yang sangat menekankan kreatifitas sulit masuk ke benak pikiran orang Indonesia. Orang Indonesia lebih suka duduk di zona nyaman sedangkan berpikir out-of-the-box membuat mereka harus keluar dari kursi nyaman. Orang Indonesia lebih suka melihat buku pedoman manajemen proyek yang tebal hingga beratus-ratus halaman yang dapat memberi tahu mereka semua jalan keluar terhadap permasalahan yang mereka akan hadapi daripada berkolaborasi dan berpikir kreatif out-of-the-box. Orang Indonesia lebih suka yang kompleks karena kelihatan lebih ditel daripada yang sederhana karena kelihatan kacangan.

Lagi-lagi kita tidak dapat menyalahkan orang-orang ini, kesalahan dari metode pengajaran di bangku sekolah dan bangku kuliah yang bersifat satu arah dan menyuapi (top-down approach) daripada yang bersifat fostering collaboration and creativity (bottom-up approach) adalah faktor utama kenapa orang Indonesia lebih suka disuapi dan mengikuti apa yang dikatakan oleh guru atau dosen.

Orang Indonesia Lebih Menghargai Jabatan, Sesuatu yang Semu, Bukan Keahlian dan Excellence
Ketika Scrum lebih menghargai keahlian (skill) dan pemikiran-pemikiran yang memiliki terobosan daripada jabatan, banyak orang Indonesia yang merasa posisinya terancam dan tidak bisa melihat masa depannya di dalam organisasinya bila Scrum diterapkan . Padahal jenjang karir bisa dilihat secara professional selain fungsi dan hierarki dalam organisasi. Di banyak organisasi di Indonesia, banyak orang yang naik jabatan secara otomatis, modalnya cuma sabar dan betah saja.

Orang Indonesia selalu menghargai otoritas tersentralisasi seperti Technical Leader, Analyst atau Manajer Proyek. Seorang programmer dengan pengalaman 15 tahun akan tetap dianggap seorang “buruh penulis kode” selama dia tidak memiliki jabatan yang berhubungan dengan manajemen dalam hirarki organisasi. Bahkan seorang business analyst yang tidak mengerti pemrograman sama sekali posisinya masih dianggap lebih tinggi dalam organisasi dibanding programmer tersebut. Demikian juga dengan seorang Tester yang seringkali dianggap tidak terlalu bernilai dibandingkan seorang programmer. Oleh karena pemikiran sempit itu banyak fresh-graduate Ilmu Komputer atau Teknik Informatika atau Sistem Informasi dari Indonesia mau langsung menjadi Analyst tanpa harus melalui proses menjadi programmer.

Organisasi yang menekankan posisi dan jabatan, akan selalu menggunakan posisi dan jabatan pada saat konflik terjadi. Organisasi yang memberi penekanan pada knowledge, akan menggunakanknowledge pada saat konflik terjadi.

Masalah ini juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang tersebut karena hampir sebagian besar negara-negara bekas jajahan secara umum juga memiliki cara pandang yang sama mengenai posisi dan jabatan. Kultur masyarakat Indonesia yang masih sangat menghargai jabatan dan jabatan sangat berkaitan erat dengan penghasilan (gaji) di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih lebih menghargai sesuatu yang semu, seperti sekolah atau universitas favorit, bekerja di perusahaan asing, jabatan atau profesi tertentu, gelar pendidikan yang berderet banyak.

Orang Indonesia Tidak Berani Melawan Status-Quo dan Tidak Terbuka Terhadap Kritik
Karena alasan-alasan yang telah dijabarkan sebelumnya dimana orang Indonesia lebih mengikuti aturan dari otoritas yang ada di atasnya dan lebih menjadi pengikut daripada inovator, orang Indonesia menjadi tidak berani melawan status-quo. Orang Indonesia cenderung mengikuti arus di dalam organisasi daripada menantang status-quo. Hal ini dikarenakan ada pandangan kalau orang yang berada di atas selalu benar, selain tidak adanya keterbukaan dari para pemimpin untuk mendapatkan masukan dari orang-orang yang ia pimpin.

Cara pandang ini sangat berbeda dengan orang-orang di negara barat seperti Australia ataupun Swedia yang justru beranggapan apabila bawahan berani membentak atasannya untuk memperbaiki proses yang ada, berarti mereka sangat peduli dengan kemajuan perusahaan dan hal tersebut justru sangat dianjurkan. Atasan tidak merasa terancam bila dibentak bawahan untuk kemajuan perusahaan. Di negara-negara tersebut ada pemahaman bersama bahwa bawahan bisa benar dan atasan tidak selalu benar. Atasan berfungsi untuk meningkatkan potensi bawahan, bukan untuk mengambil keuntungan dari bawahannya. Namun di Indonesia seorang atasan yang dibentak oleh bawahannya merupakan sesuatu yang tidak sopan dan pimpinan akan menganggap dirinya terlihat bodoh di depan banyak pihak bila hal tersebut terjadi.

Orang Indonesia Selalu Membandingkan Scrum dengan Metodologi Manajemen Proyek Tradisional
Orang Indonesia masih kesulitan melihat dari sudut pandang produk yang dapat meningkatkan revenue perusahaan dan selalu melihat dari sudut pandang proyek yang memiliki batasan budget. Tidak peduli berapa kali kami selalu mengatakan kalau Scrum hanyalah sebuah kerangka kerja untuk mengembangkan produk, orang Indonesia akan selalu kembali melihatnya dari sudut pandang manajemen proyek. Sepertinya ada pegas di dalam pikiran mereka yang selalu mengembalikan cara berpikirnya dengan sekejap setelah diajari Scrum oleh kami.

Bagi orang Indonesia hidup bagaikan proyek-proyek yang harus ada tanggal akhirnya, sehingga merubah pola pikir menjadi berorientasi pada produk sangatlah sulit (bila tidak mustahil). Orang Indonesia lebih suka menghabiskan banyak waktu untuk melakukan pemetaan Scrum ke metodologi manajemen proyek yang sudah mereka ketahui saat ini daripada unlearn apapun yang mereka sudah ketahui dan memulai Scrum di organisasinya. Unlearning apapun yang mereka sudah ketahui adalah sebuah kerugian, oleh karena itu mereka akan lebih memilih bekerja sekeras tenaga menyesuaikan Scrum ke apapun yang sudah ada di organisasi mereka daripada menyesuaikan kultur kerja mereka saat ini ke kerangka kerja Scrum.

 

Source: startupbisnis.com